AGAMA

@emka.ma.__

Cara Beragama 

Gordon W. Allport dalam Jalaluddin Rakhmat menjelaskan bahwa ada dua macam cara beragama yaitu: INSTRINSIK dan EKSTRINSIK.



Intrinsik berarti bahwa agama sebagai akhir dari segalanya, sehingga individu merasa sangat mempercayainya dan sangat serius terhadapnya serta agama dipercaya dapat menjawab pertanyaan tentang perilaku kehidupan dan mengkaitkan agama dalam seluruh perbuatannya, termasuk motivasi bekerja dan akan berhubungan positif dengan kesehatan mental aktif. Dan menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat, agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor). Cara beragama seperti ini, terhunjam ke dalam diri penganutnya. Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih saying dan sinergis.
Ekstrinsik berarti melihat agama dari permukaan saja. memandang agama sebagai sesuatu yang dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, shalat, naik haji, dan sebagainya –tetapi tidak di dalamnya. Kata Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental. Saya ingin menyatakan bahwa cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih saying. Sebaliknya, kebencian, irihati, dan fitnah masih akan tetapi berlangsung.
Kondisi cara beragama penekanannya lebih pada “motif” seseorang terhadap prosesi ritual dari ajaran agamanya (ibadah) seperti ibadah solat, puasa, zakat dan haji. Ibadah tersebut tidak saja sebagai kewajiban dan kebutuhan tetapi sarana pembinaan diri untuk memperoleh tujuan. Jadi disini, sangat ditentukan cara memandang ibadah itu sebagai pemenuhan kewajiban dengan imbalan pahala atau proses nilai. Jika motivasinya pahala lebih cenderung pasif-normatif  sedangkan nilai kecenderungannya aktif-terukur karena nilai  dapat di evaluasi. Artinya; ibadah itu dapat di-ukur dengan pertanyaan : bernilaikah ibadah yang dilaksanakan dan tercapaikah target atau tujuan dari ibadah itu?. Sejatinya bahwa setiap nilai sudah pasti berpahala, tapi sesuatu yang berpahala belum tentu bernilai, karena nilai berkaitan dengan fungsi.  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Singkat Kecamatan Sei Rampah

SEJARAH SINGKAT KUA KEC. SEI RAMPAH

H2N