Harmoni Antarumat Beragama

Rabu, 20 Mei 2015, 17:02 –
Menko Polhukam: Empat Faktor Pengganggu Keberlangsungan Harmoni Antarumat Beragama

Jakarta (Pinmas) – Ditengah-tengah kerja keras bersama untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang maju, bermartabat damai, dan harus berkeadilan, masih kita jumpai berbagai dinamika yang menciderai kerukunan umat beragama, seperti tindakan-tindakan anarkisme dan kekerasan mengatasnamakan agama.
Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno setidaknya menyimpulkan paling tidak terdapat 4 (empat) faktor yang dapat mengganggu keberlangsungan harmoni antarumat beragama. Faktor-faktor tersebut meliputi; Pertama, sistem doktrinasi kegamaan masih jauh dari kultur penghargaan terhadap kebebasan beragama.
Menurut Tedjo, kecenderungan untuk melakukan penghakiman dan memunculkan stigma negatif terhadap agama lain, masih menjadi tren dalam pendidikan agama yang berlangsung selama ini.
“Doktrinasi agama yang selama ini cenderung mengkotak-kotakan agama, harus segera direorientasikan menjadi pembelajaran agama yang sarat akan nuansa cinta dan kasih sayang. Ajaran-ajaran keagamaan harus senantiasa diarahkan pada pentingnya budaya silaturahim dan menyambung tali persaudaraan, tidak hanya sebatas pada kalangan internal agama sendiri, melainkan juga kepada individu-individu kelompok keagamaan yang lain,” ujar Tedjo dalam paparannya saat Rapat Kerja Nasional Kementerian Agama Tahun 2015 di Jakarta, Rabu (20/5).
Kedua, netralitas aparatur negara dalam menjaga kerukunan umat beragama. Harus diakui, ujar Tedjo, bahwa di beberapa daerah, aparatur negara masih belum bisa menjaga netralitas dalam mengurai konflik-konflk bernuansa agama.
Hal ini memunculkan tudingan bahwa negara seolah-olah menjadi aktor dalam sikap-sikap diskriminatif  terhadap kelompok agama tertentu.
Ketiga, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap konsep multikulturalisme. Dalam pandangannya, kerukunan hidup beragama perlu disintesakan dalam kesadaran sebagai sebuah bangsa yang senasib.
Keempat, masih dianggap tabunya dialog agama oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Dialog intelektual yang sehat, terbuka, jujur, dewasa dan ikhlas yang bisa menerima perbedaan di kalangan pemeluk berbagai agama di tanah air menurut Tedjo dinilai masih sangat minim.
Padahal, setiap agama mempunyai watak dasarnya sendiri-sendiri yang mungkin punya persamaan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lan.
Selain itu, terang Tedjo, kecenderungan generalisasi yang dilakukan masyarakat karena kurangnya pemahaan terhadap perbedaaan ajaran agama lain, pada akhirnya memunculkan penilaian-penilaian yang salah dan memicu kesalahpahaman.
“Oleh karena itu, budaya dialog antaumat beragama ini harus semakin massif disosialisasikan demi merawat keberagaman dengan jalan damai,” ujar Tedjo.
Keempat faktor tersebut, dalam pandangan Tedjo, tentunya menuntut sikap antisipatif dari semua pihak. Tentunya, ini pertama-tama adalah tanggung jawab pemerintah, tokoh-tokoh agama, namun juga tanggung jawab seluruh komponen bangsa.
“Pemerintah harus berbenah diri dan memperkuat perannya dalam mengawangi kerukunan antarumat beragama. Tokoh-tokoh agama harus turut mengurai benih-benih perpecahan antarumat beragama. Senantiasa mendakwahkan agama dalam bahasa cinta, membantu menyebarluaskan pemahaman multikulturalisme, dan turut aktif membangun kultur dialog agama yang baik,” ucap Tedjo. (dm/dm).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Singkat Kecamatan Sei Rampah

SEJARAH SINGKAT KUA KEC. SEI RAMPAH

H2N